Minggu, 05 April 2009

Problematika Pengajaran Sastra di Seholah

Oleh: Mahmud Jauhari Ali

Di tengah ramainya tuntutan guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak bagi mereka, sudahkah mereka itu berkontemplasi.

Maksudnya adalah merenungi atas hal yang telah mereka perbuat dalam dunia pendidikan, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sastra merupakan bagian intergral dalam dunia pendidikan tersebut yang diajarkan di tiap jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan.

Pengajaran sastra mencakup ketiga genre sastra, yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.

Dalam pengajaran sastra itu, terdapat beberapa problematika yang harus segera diatasi oleh guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal itu kita pandang perlu, karena problematika pengajaran sastra menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Akhirnya, siswa pun kurang cerdas dalam hal bersastra.

Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan sastra. Lebih dari itu, kita menginginkan outcome yang bagus. Contoh, proses belajar-mengajar terjadi dan akhirnya siswa memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan bahwa contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita menginginkan siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat memproduksi karya sastra sebagai outcome dalam pengajaran sastra di sekolah.

Selama ini, pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang optimal. Misalnya, ketika siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan dengan alam. Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam terbuka. Padahal di ruang tertutup dinding kelas, kurang mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi dan kreasi mereka dalam proses penciptaan puisi.

Itu merupakan salah satu problematika dalam pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya, guru mengajak siswa keluar, ke alam terbuka dan membantu mereka dalam proses penciptaan karya sastra.

Problematika yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik yakni internet dan radio.

Hal terakhir ini sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinyu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.

Selain itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat kurang memperkenalkan sastrawan Kalimantan Selatan kepada siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus dimiliki siswa di tiap jenjang pendidikan di sekolah. Seharusnya, guru bahasa dan sastra tidak hanya memperkenalkan sastrawan dari Pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada siswa.

Perlu kita ketahui, bahwa sebagian sastrawan Kalimantan Selatan juga sudah menjadi sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja dua contohnya, Jamal T Suryanata dan Arsyad Indradi. Karya sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di tiap jenjang pendidikan di provinsi ini.

Dengan demikian, siswa juga dapat membuat karya sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalimantan Selatan juga ada yang menggunakan Bahasa Banjar dalam berkarya sastra. Bahasa Banjar pun akhirnya bertambah lestari. Problematika yang ketiga itu juga harus segera diatasi, agar pengajaran sastra di sekolah dapat berlangsung secara baik dan benar.

Hal yang tidak kalah memprihatinkannya dalam pengajaran sastra di provinsi ini, adalah berkenaan dengan sastra daerah Kalimantan Selatan. Banyak guru bahasa dan sastra yang kurang menyinggung apalagi membelajarkan sastra daerah Kalimantan Selatan, seperti mamanda, lamut, dan madihin kepada siswa. Padahal sastra daerah Kalimantan Selatan perlu sekali diajarkan dengan porsi yang memadai di semua sekolah. Hal itu sangat bagus dalam rangka melestarikan khazanah kekayaan sastra dan bahasa Banjar di provinsi ini. Problematika keempat itu merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Sastra daerah Kalimantan Selatan seharusnya diajarkan oleh guru bahasa dan sastra kepada siswa.

Kini, saatnya guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi problematika pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal itu guna kemajuan sastra di provinsi kita. Bagaimana menurut Anda?

Pengurus Komunitas Sastra Indonesia Cabang Kertak Hanyar
Terbit di Banjarmasin Post, Senin, 2 Februari 2009 |

THE CLINICAL APPROACH TO SUPERVISION

A. Konstruk dan Konsep dalam Supervisi
Dalam pendekatan klinis terhadap supervisi, pengawas menyediakan pelayanan yang berhubungan dengan kualitas praktiknya kepada pelaksana . Pengawas haruslah kompeten, mempunyai sifat kasihan pada orang lain, profesional. Mereka jga harus mempunyai banyak pengetahuan dan cukup terampil untuk mempunyai “ keberanian untuk tidak mengetahui “ dan juga untuk bertindak dengan rasa percaya diri . Ini merupakan modal pengawas klinis.
Pendekatan klinis terhadap supervisi mengambil nama dan asumsi dari karya Cogan dan Goldhammer yang telah mengartikan supervisi klinis untuk praktik dan tulisan mereka sendiri. Proses delapan tahap klasik yang dikenal sebagai “siklus lingkaran supervisi “ bermanafaat di bawah kondisi terbatas, tetapi tidak menggambarkan praktik itu sendiri pada akhir-terakhir ini, berkembanglah keranka kerja konseptual yang dari situlah muncul metode alternatif yang sesuai dengan keadaan praktik klinis yang lebih luas. Pengetahuan substantif yang berdasarkan pada pengalaman praktik pengawas yang telah dikumpulkan telah melalui mengembangkan sebuah bahasa untuk studi intelektual konsep, kolegalitas, kolaborasi, layanan , dan perilaku etik, telah menjadi hal yang penting yang menandai wilayah klinis terhadap supervisi ketika hal ini di analisa.
Untuk memahami hakekat pendekatan klinis terhadap supervisi, diperlukan kesadaran akan pentingnya konsep sebagai cara rasional untuk berkomunikasi. Konstruk atau konsep merupakan suatu pemisahan beberapa aspek sebuah peristiwa yang diberikan dari pandangan tertentu. Untuk pendidik , minimal ada dua sifat konsep operasional yang dapat digunakan sebagai kriteria nilai mereka. Yang pertama adalah reliabilitas, yaitu tingkatan dimana peristiwa yang sama diobservasi oleh rekan lain, akan digambarkan dalam cara yang sama oleh mereka. Kriteria kedua untuk konstruk atau konsep yang baik adalah utility untuk tujuan yang diberikan.
Jika praktik pendidikan mempunyai integritas, para praktisi mengakui bahwa formasi konsep perlu ada untuk memperbaharui kehidupan praktik, dan melakukan pencarian untuk menyatukan prinsip yang menghubungkan masa lalu dengan sekarang. Dua puluh tahun yang lalu , Morris Cogan dan kontemporarinya mencari-cari istilah untuk menggambarkan apa yang mereka hadapi sebagai sesuatu yang klinis dari peristiwa yang mereka hadapi. ” Didalam peran dan proses baru ini , dan khususnya dalam hubungan baru ini kami menemukan beberapa penyebab optimisme dan kami melalui mengaku ke prosedur dasar kami sebagai ”siklus supervisi” ” Sebelum tahun 1973 dia telah mengakui konsep yang tidak dapat dihindarkan ” .Pertama-tama perlu dicatat bahwa tahapan tertentu siklus mungkin berubah atau dihilangkan atau prosedur baru dibentuk tergantung pada keberhasilan perkembangan hubungan kerja antara pengawas dengan guru.

B. Pendekatan Klisnis akhir tahun 1920 - an
Konsep yang ditawarkan disini tidak perlu dipisahkan dari pendekatan klinis. Ini adalah penjelasan yang setian acuan dan aspek yang berhubungan menolong untuk menggambarkan dan memandu peristiwa-peristiwa praktik klinis. Contohnya : untuk membandingkan kolegialitas dan kolaborasi, menolong menjelaskan masing-masing. Kolegialitas mengacu pada sikap seseorang yang terlibat dalam supervisi; yaitu keadaan mereka , kecenderungan mereka yang kuat atau ”mental” yang ada pada mereka pada saat mereka bekerja sama. Kolaborasi menyatakan hakekat keterlibatan seseorang selama supervisi gabungan. Layanan akhli menyarankan bahwa pengawas mampu menawarkan akomodasi dan aktivitas yang diperpanjang yang diperlukan oleh orang yang disupervisi sebagai hasil dari training dan latihan khusus yang lama. Perilaku etik mengacu pada kebijaksanaan dan keputusan konstan dalam tindakan seseorang melalui standar tingkah laku sehingga siapapun yang menghasilkan kepercayaan dan perlindungan.

C. Kerangka Pikiran Kolegialitas
Kolegialitas didefinisikan disini sebagai keadaan internal, tergantung pada cara seseorang mengidentifikasi dunia guru dan siswa serta pengawas dalam rasa sadar diri. Ini merupakan kerangka pikiran tertentu yang dibawa seseorang pada pertemuan pendidikan. Pada bagian ini , gagasan ” kerangka pikiran” diwujudkan kedalam kritik yang dijauhkan, observer netral, peserta yang dihubungkan, dan anggota organisasi. Masing-masing mewakili seperangkat tingkah tertentu yang dihubungkan dengan kolegialitas.
1. Kritik Alienated ( yang dijauhkan, diasingkan )
Sebagai seorang pengawas klinis yang menghadapi dunia guru dan siswa setiap harinya, saya mempunyai keuntungan melihat kembali tempat dimana saya biasa tinggal. Dalam kata-kata Maxine Greene : Ini seperti pulang ke rumah sesudah tinggal cukup lama di tempat lain. Orang yang datang memperhatikan detail dan pola lingkungannya yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Orang akan melihat bahwa orang tersebut harus memikirkan kebiasaan dan budaya lokal dan membuatnya sekali lagi masuk akal. Sesaat dia akan merasa terpisah dari orang yang mengelompok di rumah itu dan menganggap dunia yang akrablah yang dapat diterima.
Karena saya mempunyai investasi emosional di lingkungan pendidikan, mudah bagi saya menjadi seorang kritisi terasing, tidak mampu menerima ketidaksempurnaan yang sekarang saya lihat. Karena saya peduli akan anak-anak dan pembelajaran , saya dapat menemukan kesalahan, menggambarkan keadaan yang mustahil, menawarkan saran berdasarkan apa yang dapat dilakukan pada masa lalu atau mungkin lebih baik dimasa depan.
2. Pengamat netral
Kecenderingan pertama terhadap kolegialitas datang ketika saya mampu menjadi pengamat netral, memikirkan peristiwa-peristiwa didunia profesi saya dengan cara obyektif dan tidak memihak. Seorang pengawas baru mengatakan, ” Mungkin saya tidak melakukan hal yang baik, namun paling tidak saya tidak melakukan banyak kerusakan”. Kurangnya rasa kasihan kita terhadap orang lain yang mempunyai pikiran dan semangat berbeda. Hal ini dikombinasikan dengan ketidak tahuan dan kurangnya perasaan kasihan yang mencegah kita membuat hubungan bermakna dengan orang lain yang berbeda dengan kita.
3. Peserta yang dihubungkan
Kolegialitas asli mungkin ada ketika saya dapat menjadi peserta yang dihubungkan. Semangatlah yang membuat saya ”terhubung” dengan orang lain sehingga kami berdua menyadari hubungan tersebut. Saya mampu melakukan identifikasi dengan orang lain dengan tetap menghormati dan bersikap pura-pura. Saya tidak merasa aneh dengan rekan-rekan saya , walaupun mungkin saya tidak setuju dengannya. Saya menerima gambaran saya pribadi sebagai seorang peserta disebuah kelompok pendidikan dan saya mambagi beberapa tanggung jawab. Saya percaya dengan kebersamaan kami dapat menemukan jenis kontribusi yang kita buat satu sama lain.
Cogan menyebutkan bahwa kekuatan sosial dan budaya bukan hanya menekan kita dalam bentuk dan tingkah laku guru tetapi juga menghasilkan sifat evaluative sekitar peran guru.
4. Anggota Organisasi
Rasa koligialitas yang semakin bertambah itu mungkin ada pada saat saya dapat membayangkan diri saya sebagai anggota dari kesatuan yang terorganisir, ketika perbedaan pengawas dan guru tidak begitu kelihatan dan saya dapat melebihi status biasa saya. Sementara dalam kerangka pikiran dari peserta yang terhubung tersebut saya tetap sadar saya adalah individu unik yang berhubungan dengan individu yang lain; penekanannya seringkali pada kualitas hubungan hakekat interaksi. Sebagai anggota organis , saya sadar akan kemungkinan dimana seorang individu bersama dengan anggota lain bekerja sama untuk mencapai tujuan umum. Sebagai anggota dari kelompok organis saya aktif dan reaktif, induktif dan produktif selama proses berlangsung. Saya bisa jadi sangat efektif ketika saya membayanngkan bagaimana anggota lain mungkin juga memberikan kontribusi.

D. Kolegialitas sebagai pertemuan tatap muka
Didalam supervisi klinis ada asumsi implisit bahwa kegiatan tatap muka adalah dasar dari pelaksanaan . Ketika dua orang atau lebih datang bersama-sama untuk jenis pertemuan supervisi khusus ini, maka lamanya waktu yang mereka habiskan untuk kegiatan tersebut bukannlah merupakan faktor terpenting. Kualitas waktu yang mereka gunakan itulah yang membuat keistimewaan. Siapapun yang membawa kerangka pikiran kolegialitas tertentu pada situasi itu secara langsung akan mengatur suasana hatinya untuk kualitas pelaksanaan tersebut.
Dalam risalah ilmu sosiologinya, Berger dan Luckman menekankan pada level realitas unik dari situasi tatap muka dan secara khusus, pentingnya kenyataan berbagi dengan yang lain.
Pernyataan di atas kelihatan jelas, namun sebagai pengawas kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita terhubung dalam interaksi dekat dan jauh. Semakin lama kita bekerja secara tatap muka ( langsung) maka mungkin saja kita akan bersama orang yang semakin tidak kita kenal. Penyusunan dan keterampilan bekerja sama diciptakan melalui pertemuan kolegialitas yang penuh semangat dan lama.
1. Kerjasama Kelompok Pendidikan
Diskusi kerja sama berikut ini menyebutkan hakekat keterlibatan diantara orang yang bekerja di dalam kelompok pendidikan. Jika kita memikirkan empat jenis keterlibatan dan kondisi masing-masing keterlibatan itu, lebih baik kita memahami ide ” Kelompok pendidikan ” . Karena pelaksanaan klinis tergantung pada interaksi tatap muka, kita dapat mengasumsikan bahwa untuk motive apapun ada pertukaran verbal di jenis-jenis keterlibatan yang disampaikan disini.
2. Keterlibatan Non Working
Keterlibatan non working digolongkan dengan perasaan menolak pada bagian satu atau lebih dari satu orang. Penolakan ini bisa dalam bentuk konflik atau permusuhan terbuka, dimana keterlibatan itu tidak berlangsung lama. Perilaku menolak itu lebih halus dan perlu waktu agak lama untuk dihentikan, walaupun kebanyakan pengawas sangat berpengalaman dalam berbagai jenis penolakan , dari segi negatif , diam, bicara, ulasan atau bantahan ( saya akan menyatakan kesalahan saya sebelum kami melakukan hal yang sama) sampai daya tarik dan semangat yang meluap-luap ( termasuk pujian yang berlebihan terhadap kecerdasan pengawas ) yang lebih halus lagi adalah alat pertahanan yang digunakan pengawas untuk membuat dirinya lengkap. Ada tipu daya , pemaksaan keinginan yang pernah ada sebagai satu unsur yang mengembangkan keterampilan empiris pengawas netral. Semaikin banyak data yang dimiliki , maka seseorang akan semakin jelas dalam membuat keputusan awal. Siapapun yang terlibat dalam keterlibatan non working telah mempunyai prasangka bahwa usaha tidak akan mendatangkan hasil yang bagus dan karena itulah ” ini tidak berfungsi baik”.
3. Keterlibatan Working acceptance
Istilah working acceptance dipinjam dari tulisan Ervin Goffman tentang tingkah laku tatap muka , Interaksi ritual. Keterlibatan jenis ini dikaitkan dengan aspek ritual pertemuan pengawas. Asumsi kami adalah bahwa didalam pertukaran persepsi ada penerimaan cara pengoperasian umum.
Selama bertahun-tahun saya telah mendengar ratusan pertemuan dengan pertanyaan yang sama. Disatu sisi saya mulai mengambil pola yang dapat disamakan dengan pengakuan dalam agama:
 Pengawas memimpin
 Guru mengakui kesalahannya
 Pengawas menyarankan cara untuk mengakui
 Guru setuju untuk mengakui kesalahan
 Pengawas membantu dalam menebus kesalahan
 Guru melakukan tindakan penyesalan
 Pengawas memaafkan kesalahan
 Guru dan pengawas merasa jauh lebih baik
Pengawas klinis menyadari kekuatan arus pertemuan ritualistik dan dapat merubah aspek yang berhubungan dengan upacara menjadi kelompok pendidikan pertemuan-pertemuan selama peserta dapat mempelajari sesuatu tentang tindakan profesinya.
Pengawas mengembangkan pendengaran tajam untuk setiap kosa kata dan sedikit banyak menjadi orang yang ahli dalam dua bahasa. Dia memperoleh satu bahasa yang membicarakan tentang perasaan pribadi dan sikap seseorang bahasa yang lain untuk menggambarkan, mengartikan dan memutuskan dunia luar tindakan profesional dan konsekuensinya. Tanggung jawab awal untuk kerjasama ditempatkan pada pengawas yang diharapkan mempunyai bahasa yang tepat untuk memperjelas apakah arti hakekat persetujuan pendidikan bagi peserta.
Sebagai tambahan untuk berkomunikasi, pengembangan bahasa didalam kepengawasan difokuskan dengan keperluan untuk semua anggota yang termasuk didalam aliansi kependidikan yang mana secara mendasar memiliki pengalaman yang sama, itu adalah, mereka ditafsirkan memiliki kenyataan yang nyata dari suatu kerangka referensi yang satu induk. (pembentukan suatu konsep, untuk perkembangan yang sangat luas, merupakan suatu cara bagi kita untuk menemukan mode-mode yang nyata.sebanyak mungkin yang diperuntukan bagi kita untuk kita menemukannnya.) empat kolegial “kerangka berpikir” dam empat “jenis keterlibatan kerjasama” yang ada didalam bab ini yang sesungguhnya menghadirkan perubahan-perubahan mode yang nyata.
Dalam beberapa kasus, para pengawas mungkin akan menemukan gaya pesetujuan mereka sendiri dan tidak penting bagi semua guru. Aku menyakinkan bahwa praktek klinik yang efektip tergantung dari kemempuan kita untuk artikulasi dan oleh karena itu mengatur perbedaan ini.
Karena kita mulai untuk berpikir untuk kepengawsan kilinik kearah metode Cogan, kita dapat merubah imajinasi kita dari scenario convensional dengan dua kasta orang. Kita dapat membayangkan seorang pengawas klinik yang bertindak dialam konfigurasi-konfigurasi yang berbeda dengan kelompok-kelompok pendidik yang berbeda didalam aktivitas tatap muka (seperti perencanaan, penemuan-penemuan yang nyata, bekerja terhadap materi yang ada) menjelajahi sesuatu kenyataan yang baru bersama. Kolaborasi didalam cara ini mungkin tergantung dari kemampuan dari tiap-tiap anggota kelompok untuk memahami beberapa perbedaan-perbedaan tersebut diantara mereka sehingga mampu untuk melebihi kekakutan yang terjadi dibawah sadar dari mereka. Lagi pula, untuk mengeliminir perbedaan adalah untuk dapat diciptakan suatu potensi akan tekanan-kenan yang selalu dinamik yang ada didalam keterlibatan manifestasi organiisasi yang timbale balik.
4. Wujud Keterlibatan Organisasi Timbal Balik
Ketika suatu kelompok pendidik datang bersama-sama didalam suatu aliensi pendidikan ada kesempaan untuk unit tersebut untuk terlibat didalam suatu jumlah yang sangat banyak dengan satu tingakatan yang diperkuat akan timbal balik. Istilah sinkronisasi sering digunakan untuk mengambarkan kondisi ini. Itu adalah ketika para peserta bekerja secara harmonis kearah pencapaian tujuan-tujuan mereka sendiri dan tujuan-tujuan kelompok.
Model Reynolds adalah suatu team yang melakukan praktik mengajar untuk enam orang guru yang diberikan satu tahun untuk menghabiskan waktu mereka dari tugas-tugas mereka didalam kelas agar untuk memfungsikan sebagai suatu team belajar. Mereka bertanggung jawab akan pengarahan aktivitas-aktivitas mereka, memilih untuk melakukan maka tanpa suatu perancangan oleh pimpinan. Di dalam laporan mereka telah melakukan suatu ringkasan pekerjaan mereka yang penting sebagai berikut:
a. Membentuk hubungan kerja melalui penumbuhan rasa keprcayaan satu sama lain dan suatu keprcayaan yang kuat bahwa sesuatu penuh dengan arti adalah mungkin, bahwa kita dapat membuat itu terjadi.
b. Seperangkat tujuan dan tugas-tugas untuk menyelesaikan tujuan-tujuan.
c. Internalisasi tujuan-tujuan sebagai suatu penekanan panduan dan mengenali materi-materi baru yang penting untuk menyelesaikan tugas-tugas.
d. Mempelajari prilaku-prilaku yang tepat (pertama kali melalui trial and error / coba salah, coba salah sampai benar)untuk menyelesaikan tujuan-tujuan khsusu.
e. Belajar bagaimana untuk mengenali dan menggunakan sumber-sumber untuk mengembangkan produk-produk yang nyata.
f. Meneliti tujuan-tujuan original dan melakukan revisi rencana-rencana untuk tugas-tugas dan produk-produk.
g. Mengembangkan strategi-strategi untuk introsfeksi – “belajar apa yang dulu sedang dipelajari dan bagaiman belajar.” (pembelajaran organic seperti yang dihubungkan pada pembentukan model)

E. Layanan Akhli
Pengawas klinik mampu untuk mengklaim bahwa ia atau dia dapat menawarkan suatu suara kepada para guru didalam komunitas pendidikan sebagai suatu hasil dari perpanjangangan dan spesialisasi training dan latihan intelektual. Praktek professional dari pengawasan klinik diambil dari asumsi bahwa pengawas memahami tempat pertemuan proses pendidikan oleh pelaku pendidikan dan memiliki keahlian-keahlian yang diperlukan untuk membuat menyadari kejadian-kejadian dalam pertimbangan.
1. Pertemuan proses kependidikan: sekolah sebuah tempat yang unik, komunitas belajar dan mengajar dimana pendidik dapat mempertajam dan memperkuat keterlibatan mereka, dimana kejadian-kejadian memiliki arti khusus; dimana tindakan-tindakan penting kerena mereka bagian dari suatu tindakan yang besar. Pesekolahan menerapkan bahwa semua yang berpartisipasi bertemu didalam pembelajaran yang berusaha dengan cara-cara yang tertentu. Pengawas klinik adalah rumah didalam lingkungan ini.
2. Keahlian-keahlian penyelidikan : pada inti dari metode Cogan adalah tahapan-tahapan observasi dan analisis, berdasarkan pendekatan emperis yang mana Cogan menggunakannya didalam prakteknya sendiri. Observasi mengarah kepada fungsi kepengawasan terhadap pencatatan kejadian-kejadian yang sesungguhnya terhadap pelaksanaan kependidikan agar menggumpulkan data yang stabil antara guru dan pengawas sebagai suatu yang berguna dan nyata. Analisa adalah suatu proses sistimatis yang membuat pemahaman terhadap data.
Ada lima tahapan keperluan penyelidikan bagi pengawas “penemuan, verifikasi, penjelasan, penterjemahan/penapsiran, dan evaluasi.
a. Penemuan memiliki suatu tujuan pencarian induktip untuk penomena artikulasi-yang baik dan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai yang didapatkan didalam scenario didalam kelas. Kedua data baik data qualitatip atau quantitatip sesuai disini. Analisa sering dimulai dengan pengenalan pelajaran yang intensip yang telah ditetapkan oleh guru dan juga tanda-tanda yang konsistensi sebagai suatu hasil dari tindakan-tindakan yang juga sering terjadi. Kepengawasan dilanjutkan untuk melihat suatu frospektif yang cerah dudalam situasi-situasi yang akrab melalaui penemuan.
b. Verifikasi adalah suatu mode deduktip yang menyediakan suatu tingkat objektivitas (yang mana menyarankan bahwa yang lainnya menggunakan metode yang sama didalam data yang sama yang diambil dalam kesimpulan yang mirip). Ketika data-data yang penting dari pelajaran yang telah ditemukan, itu adalah perintah yang mana pengawas memperjelas, biasnya dengan metodologi quantitatip, perluasan penemuan disesuaikan, tujuan-tujuan juga disesuaikan dengan kerangka pikiran yang membantu pengawas memperkirakan suatu postur yang dapat diprediksi dan netral. Tes hipotesa adalah suatu gambaran dari verifikasi.
c. Penjelasan adalah keduanya deduktip dan induktip. Tujuannya adalah untuk menjelaskan phenomena yang jelas melalui kesimpulan yang diambil dari isi dari data yang stabil atau tetap. Pengawas dan guru membawa perkiraan subjektip mereka yang terbaik terhadap apa yang sedang terjadi dari dasar kenyataan mereka sendiri. Pembentukan konsep merupakan suatu yang vital dari proses karena ini menjadi berarti untuk dua untuk menguraikan kenyataan-kenyataan dari dua dunia tersebut. Memahami melalui bahasa merupakan dasar penjelasan.
d. Penafsiran merupakan pencarian arti kejadian-kejadian dalam studi. Mode imperative sering menyediakan suatu cara untuk mendapatkan apa yang sebenarnya terjadi atau permasalahan-permasalah yang sesunguhnya. Mengambil penafsiran yang sudah baku dari apa yang sudah diklarifikasi dan dijelaskan. Pengawas dan guru dapat mencari kepentingan yang lebih dalam dari kandungan yang nampaknya sederhana.
e. Evaluasi adalah suatu mode normatip yang mana ditujukan kepada nilai-nilai dan penilaian-penilaian tentang kejadian-kejadian didalam pertimbangan tersebut. Metode-metode evaluatip digunakan untuk menentukan keefektipan dari suatu tindakan khusus atau berharganya suatu arti. Mereka mungkin membantu guru untuk menjawab semacam pertanyaan guru.

F. Prilaku Etik
Kepemimpinan yang pantas secara umum menerapkan bahwa kita mengambil dari suatu keprcayaan didalam latihan pengeluaran yang konstan dan juga penilaian didalam tindakan kepengawasan melalui standar-standar prilaku agar hal itu dapat diyakini yang diketahui bahwa prilaku seoarang professional akan memlihara atau menjaga kepercayaan. Kepemimpinan yang pantas berbeda dengan kode etik yang mana serangkaian pernyataan yang dikembangkan oleh professional. Di dalam kepengawasan klinik sesuatu tidak memiliki etika, satunya memiliki etika. Cara yang mana yang kita pilih untuk merespon orang dan situasi-situasi yang secara terus menerus menantang semangat etika. Konflik dan dilemma pernah ada. Tetapi masing-masing dapat diatasi dan dinilai berdasarkan minat pribadi, ekspedienci atau paradigma. Kita mungkin tidak mengetahui perbedaan tersebut. Meskipun pada dasarnya kepemimpinan yang pantas, kita memilihnya.

G. Kapan Seseorang menjadi Supervisor Klinis yang sebenarnya ?
Seseorang akan menjadi pengawas klinik apabila :
1. Pengawas mulai berpikir dan betindak apabila lingkungan pendidikan merupakan suatu metaphora yang sama baiknya dengan satu metode
2. Kepengawasan dan aliansi tidak hanya sebagai tahap prosedural untuk bertindak dalam kelas, tetapi juga menghadirkan pendekatan emperis
3. Pembuatan naskah konferinsi tidak hanya berarti dua orang yang bertemu sebelum dan sesudah kunjungan kelas, tetapi juga menyarankan bentuk-bentuk dinamik dari kolaborasi di alam aliansi pendidikan
4. Imij dari suatu lingkaran tidak hanya menjalin penampilan yang itu-itu saja, tetapi juga mengarah kepada sampai sejauh mana keterlibatan dan komitmen yang memerlukan hubungan rekan kerja
5. Guru dan pengawas memiliki hubungan berdasarkan pada kepemimpina yang pantas